“Ijtihad
dan Perannya dalam Islam”
Disusun Oleh :
1. Miftahuddin (2013002009)
2. Tri Hadi Susanto (2013002005)
PROGRAM
STUDI EKONOMI ISLAM
STIE
MUHAMMADIYAH PEKALONGAN
2013/2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Puji Syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Ijtihad dan Perannya dalam Islam” yang
mana pembahasannya meliputi : Pengertian Ijtihad, Kedudukan Ijtihad, Syarat
Mujtahid, serta Benar dan Salah dalam Berijtihad.
Makalah ini dapat kami susun
sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai Mata Kuliah Ushul Fiqh pada
salah satu Mata Kuliah Program Studi Ekonomi Islam di STIE Muhammadiyah
Pekalongan. Tak Luput makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta
dorongan dari Orangtua, Dosen Pengampu dan Teman-teman seperjuangan, Dalam
Penyusunan Makalah kami mengambil referensi dari buku-buku Ushul Fiqh seperti
Karya Dr. KH. Ahmad mukri Aji, Prof. Dr. Muhammad
Abu Zahrah, Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, Prof.
Dr. H. Satria Effendi, Drs. H. Moh Rifa’i serta 3% dari
Penelusuran Internet.
Penyusun menyadari sepenuhnya
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih
terdapat kekurangan, Oleh karena itu semua kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat Kami harapkan guna perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penyusun
berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,
Pekalongan,
5 Mei 2014
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan ilmu yang membahas
hukum-hukum syara’ yang bersifat amali yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci. Berbeda dengan ilmu Ushul Fiqh yang membahas tentang dalil-dalil
fiqih yang bersifat global serta membahas cara/metode pengaplikasian
dalil-dalil tersebut juga keadaan orang-orang yang boleh menggunakan
dalil-dalil tersebut. Dalam kata lain, fiqih lebih bersifat khusus sedangkan
Ushul Fiqh memiliki karakteristik ‘am yang menaungi segala urusan fiqhiyah.
Salah satu bab dari Ushul Fiqh tahap
lanjut yakni ijtihad. Secara global, ijtihad bisa diartikan sebagai sebuah
tindakan bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan
susah payah.
Selanjutnya, akan dibahas lebih
lanjut mengenai Pengertian Ijtihad, Kedudukan Ijtihad, Syarat Mujtahid serta
Benar atau salah dalam berijtihad. Banyak hikmah yang bisa kita petik dari
pembahasan bab ijtihad ini. Niscaya, dengan kebulatan keimanan kita Insya Allah
dengan adanya ijtihad akan semakin mempertebal iman Islam kita bukan justru
membuat kerisauan dalam hati tentang konsistensi dalil. Semua kembali terhadap
pemahaman kaffah/menyeluruh kita terhadap suatu hal. Apabila kita memahami
benar-benar sebuah permasalahan syar’i secara detail dan terperinci niscaya
akan kita temukan mutiara indah yang bercahaya didalamnya, sebuah timbal balik
pengetahuan luar biasa untuk kita kuasai.
Dari paparan latar
belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang masih belum memahami
sepenuhnya mengenai Ijtihad, Maka dari itu kami akan membahas mengenai Ijtihad
itu sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Ijtihad ?
2.
Bagaimana Kedudukan Ijtihad ?
3.
Apa Saja Syarat Mujtahid ?
4. Bagaimana
Ijtihad Bisa Benar dan Juga Bisa Salah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Makna Ijtihad.
2.
Untuk Mengetahui Kedudukan Ijtihad.
3.
Untuk Mengetahui Syarat Mujtahid.
4. Untuk
Mengetahui Benar dan Salah dalam Berijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologis kata “ijtihad”
merupakan bentuk masdar dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang
diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti: mengarahkan
segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut
bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan
maksimal.[1]
Ijtihad menurut ulama’ ushul ialah
usaha seorang yang ahli fiqih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk
menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang
terperinci.
Sementara itu, sebagian ulama’ yang lain
memberikan definisi ijtihad merupakan usaha mengerahkan seluruh tenaga dan
segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk
mengamalkan dan menerapkannya.[2]
Secara terminologis, para ulama
telah memberikan definisi dengan berbagai versinya antara lain:[3]
1. Abdul Wahab Khallaf
الإِجْتِهَادُ
هُوَ بَذْلُ الْجُهْدِ لِلْوُصُوْلِ إِليَ الحُكْمِ الشَرْعِيِّ مِنْ دَلِيْلٍ
تَفْصِيْلِيٍّ مِنَ الأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ
Artinya:
“Ijtihad adalah pencurahan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum
(berdasarkan) dalil-dalil “syara’” yang detail.”
2. Muhamad Abu Zahrah
الإِجْتِهَادُ
هُوَ بَذْلُ الْفَقِيْهِ وُسْعَهُ فِي اسْتِنْبَاطِ الأَحْكاَمِ العَمَلِيَةِ مِنْ
أَدِلَّتِهاَ التَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya: “Ijtihad adalah pencurahan daya upaya dari seorang
faqih (ahli hukum islam) dalam rangka mengistimbatkan hukum yang berkait dengan
hukum ‘amaliyyah berdasarkan argumentasi yang detail.”
3. Al-Amidi
الإِجْتِهَادُ هُوَ اِسْتِفْرَاغُ
الوُسْعِ فِي طَلَبِ الطَّنِّ بِشَيْئٍ مِنَ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَليَ
وَجْهٍ يَحُسُّ مِنَ النَّفْسِ عَنِ المَزِيْدِ فِيْهِ
Artinya:
“Ijtihad adalah pengarahan segala daya upaya untuk mencari hukum yang
bersifat dzanni, dimana seseorang tidak mampu lagi untuk berusaha
maksimal dari itu.”
4. Asy-Syaukani
الإِجْتِهَادُ هُوَ بَذْلُ
الوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ بِطَرِيْقِ الإِسْتِنْبَاطِ
Artinya: “Ijtihad adalah pencurahan segala daya
upaya didalam mencari hukum syar’i yang bersifat amaliah (praktis) dengan
menggunakan beberapa metode istinbat, (penggalian hukum).”
B. Kedudukan Ijtihad
Imam Syafi’i dalam bukunya
Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Alquran menegaskan: ‘maka tidak
terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam
kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang
dikandung oleh alquran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus
digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan
kepada hamba_Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari
sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang
untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya
dalam hal-hal yang diwajibkan lainya.
Pernyataan
Imam Syafii diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping
alquran dan sunah Rasullah. Dalam surat an-Nisa ayat 59:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Surat Al-Hasyr Ayat 2:
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏdÌ»tÏ ÉA¨rL{ Îô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/Ìøä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷r'Î/ Ï÷r&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
Artinya: “Dia-lah yang
mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari
arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan pada
al-Qur’an dan sunnah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa
nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan
ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barang kali tidak mudah
untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah
umum yang disimpulkan dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.[4]
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang
masa karena manusia terus berkembang dan permasalahan pun semakin kompleks,
sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman
tetapi tetap mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad
dalam masalah fiqih terhadap dua golongan, yaitu:
a. Golongan pertama berpendapat bahwa
tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengan alasan karena masalah tersebut Allah
swt. tidak menentukan hukum tertentu sebeluim diijtihadkan. Oleh karena itu,
wajib mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam
suatu masalah adalah karena berbedanya jangkauan para
mujtahid.
b. Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu,
yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah. Sedangkan yang
tidak cocok dengan jangkauan hukum Allah maka dikategorikan salah. Golongan ini
beralasan bahwa Allah telah meletakkan hukum tertentu pada salah satu masalah
sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya dan
terkadang tidak. Demikian pendapat para jumhur ulama, termasuk di dalamnya Imam
Syafi’i. Ia berpendapat dengan dikuatkan oleh sabda Nabi saw:
مَنْ اِجْتَهَدَ فَاصَابَ فَلَهُ
اَجْرَانِ وَمَنْ أَخْطَأَفَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Siapa yang berijtihad
dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang siapa yang
berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari
Muslim).[5]
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji
kebenaran riwayat hadist yang tidak sampai ke tingkat hadist mutawatir seperti
hadist ahad atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadist yang tidak
tegas pengertianya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam al-quran dan sunah seperti dengam qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu
pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Alquran dan Sunnah adalah penting, karena
dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadist hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu
dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.[6]
C. Syarat Mujtahid
Ulama’ ushul
berbeda pendapat dalam mnenetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad).
Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat
disimpulkan sebagai berikut:[7]
a. Menguasai
dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur’an, baik menurut
bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan menghafalnya, melainkan
cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia
membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi dan Ar Razi membatasi ayat-ayat hukum
tersebut sebanyak lima ratus ayat.
b. Menguasai
dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum, baik menurut bahasa maupun
syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratakan harus menghafalnya, melainkan cukup
mengetahui letak-letaknya secara pasti untuk memudahkannya jika ia
membutuhkannya. Ibnu Arabi membatasinya sebanyak 3000 hadits. Menurut Ibnu
Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadits nabi berjumlah sekitar 1200
hadits. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadits-hadits
hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.
Menurut
Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun
hadits dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus
hadits. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam hadits.
(Asy-Syaukani : 221)
Sedangkan
menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari kitab-kitab
yang sudah masyhur keshahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan
lain-lain. (At-Tafzi, 11 : 117).
c. Mengetahui
nasakh dan mansukh dari Alqur’an dan As-Sunnah supaya tidak salah dalam
menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara
kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab
karangan Ibnu Khuzaimah, Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hazm, dan
lain-lain.
d. Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’ sehingga ijtihadnya
tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan di antaranya
Kitab Maratibu al-ijma’ (Ibnu Hazm).
e. Mengetahui
qiyas dan berbagai persyaratannya serta menginstinbathnya, karena qiyas
merupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui
bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa serta
berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Alqur’an dan As-Sunnah
ditulis dengan bahasa arab. Namun, tidak disyaratkan betul-betul menguasainya
atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang
dikandung dari Alqur’an dan Al-Hadits (Al-Amidi : 140).
g. Menegetahui
Ilmu Ushul Fiqh yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan menurut Fakhru
Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu Ushul Fiqh.
h. Mengetahui
maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan Syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga
syari’at itu berkaitan dengan maqashidu asy-syari’ah atau rahasia
disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan,
maslahah mursalah, ‘urf dan sebagainya yang menggunakan maqashidu asy-syari’ah
sebagai standarnya.
Maksud
dari maqashidu asy-syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia dan
menjauhkan dari kemadharatan. Namun standarnya adalah syara’, bukan kehendak
manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang haq menjadi tidak haq dan
sebaliknya.
D. Ijtihad Bisa Benar dan Bisa Salah
Bila seorang mujtahid melakukan
ijtihad terhadap suatu masalah dalam lapangan ijtihad dan sampai pada suatu
kesimpulan berupa hukum, maka secara lahir dapat dikatakan bahwa ia telah
menetapkan hukum syara’, namun pada hakikatnya, mujtahid itu bukan menetapkan
dan membuat hukum, karena sesuai dengan keyakinan dalam islam, bahwa yang
berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah. Dan tiada hukum kecuali dari
Allah.
Bahwa ijtihad itu berlaku dalam
hal-hal yang hukumnya tidak terdapat secara dalam Alqur’an maupun Sunnah,
ataupun ada Nashnya akan tetapi dalam bentuk yang tidak meyakinkan (dzanni).
Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan beberapa orang mujtahid yang
sama-sama melakukan ijtihad terhadap suatu masalah yang sama menghasilkan
pendapat yang berbeda, maka muncul pertanyaan: “mana di antara pendapat itu
yang benar?”. Pertanyaan ini muncul karena hasil yang dicapai mujtahid itu
adalah hukum Allah, seandainya semua pendapat yang berbeda itu dinyatakan benar
tentu akan beragam hukum Allah dalam suatu masalah tertentu. Karenanya
persoalan ini menjadi perbincangan yang tidak ada hentinya di kalangan ulama’,
terutama tentang mana di antara pendapat yang berbeda tersebut yang benar,
salah satu di antaranya atau semuanya. Kalau hanaya satu yang benar, maka tentu
yang lainnya salah. Jika salah dalam berijtihad apakah berdosa atau tidak.
Seandainya berdosa apakah hanya sekadar berdosa atau membawa akibat kekafiran.
Dalam menjelaskan persoalan di atas,
para ahli ushul memilah-memilah masalah yang menjadi lapangan ijtihad. Dalam
hal ini para ahli membaginya pada dua lingkup yang besar, yaitu :
a. Masalah
‘aqliyah atau nazharriyah; yaitu masalah yang berkaitan dengan ‘aqidah.
Bidang ‘aqliyah dalam kajian ini dibagi dalam dua
masalah:
1.
Masalah paling dasar dalam agama yang
seandainya salah dalam bidang ini, dapat menghilangkan keimanan dan menyimpang
dari ketentuan agama. Umpamanya tentang keberadaan Allah SWT dengan segala
sifat-sifat-Nya dan kerasulan Nabi Muhammad SAW
2.
Masalah ‘aqliyah yang seandainya salah
dalam hal ini, tidak sampai menghilangkan keimanan kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya. Umpamanya masalah kemungkinan manusia melihat Allah atau tidak,
Alqur’an sebagai makhluk atau Bukan, dan sebagainya.
Mayoritas
Jumhur Ulama’ sependapat dalam bidang ‘aqliyah tersebut, bahwa yang betul hanya
satu, yaitu yang mencapai kebenaran Allah, sedangkan yang lainnya adalah salah.
Dalam
bidang ‘aqliyah bentuk pertama :
·
Mereka juga bersepakat bahwa yang salah
dalam ijtihadnya, di samping berdosa juga kafir atau keluar dari islam karena
hasil ijtihadnya itu telah menafikan keimanannya.
Tetapi dalam bidang ‘aqliyah bentuk
kedua
·
Mereka berbeda pendapat dalam menyatakan
kafir (keluar dari islam) terhadap mujtahid yang salah dalam berijtihad:
Ø Sebagian
besar ulama’ mengatakan bahwa mujtahid yang salah dalam hal ini hanya berdosa
namun tidak kafir, karena dasar keimanannya tetap ada. Ia hanya berdosa dari
segi bahwa ia telah menyimpang dari kebenaran; dinilai sesat serta salah dari
segi telah menyalahi sesuatu yang benar dan meyakinkan; dan dianggap pembuat
bid’ah dari segi ia menyalahi sesuatu yang popular di kalangan ulama’salaf,
namun tidak kafir.
Ø Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa mujtahid yang tersalah dalam bidang ‘aqliyah bentuk
kedua ini adalah kafir karena telah menyimpang dari aqidahnya. Termasuk yang
mengatakan kafir ini adalah Imam Syafi’i. namun para sahabatnya meluruskan
anggapan orang tentang pendapat Syafi’i
ini dengan ucapan bahwa yang dimaksud dengan kafir di sini adalah kafir
menurut lahirnya; sebagian shabatnya menjelaskan bahwa kafir di sini maksudnya
kafir nikmat.
Ø Pendapat
Al-Jahizh dan ‘Ubaidullah Ibn Al-Hasan Al-Anbari dari ulama’ muktazilah;
“Al-jahizh”
berpendapat bahwa yang betul di antara mujtahid dalam bidang ini hanayalah
satu, sedangkan yang lainnya salah, namun yang salah tersebut dibebaskan dari
dosa, selama ia tidak bersikap melawan dengan hasil ijtihadnya itu terhadap
‘aqidah islam.
“Al-Anbari”
berpendapat bahwa hasil ijtihad dari beberapa mujtahid yang berbeda pendapat
dalam bidang ‘aqliyah atau ‘aqidah semuanya betul dan dengan sendirinya tidak
ada yang berdosa dengan hasil ijtihadnya itu.
b. Masalah
Syar’iyyah
Mengenai Ijtihad dalam bidang Syari’ah ini Jumhur
Ulama’ membaginya kepada dua bentuk:
1. Bidang syari’ah yang sudah pasti dan
dapat diketahui secara dharurui
(tanpa memerlukan pemikiran atau ra’yu)
bahwa ia termasuk ketentuan agama; seperti: wajibnya shalat lima waktu, puasa
ramadhan, zakat dan haji yang sudah memenuhi syarat, haramnya zina serta minum
khamr itu haram, dan lain-lain yang termasuk masalah pokok-pokok dalam agama.
Hasil
ijtihad dalam bidang ini hanya satu yang benar , yaitu hasil ijtihad dari mujtahid
yang sanggup mencapai kebenaran tersebut, dan yang lainnya adalah salah.
Kesalahannya itu tidak dapat dimaafkan, sehingga mujtahid tersebut dengan
sendirinya menjadi berdosa. Bahkan ada ulama’yang menganggapnya kafir karena si
mujtahid itu dianggap telah menyalahi suatu yang bersifat dharuriyat (masalah pokok) dalam agama.
2.
Bidang syari’ah yang tidak memiliki
dalil yang qath’i dan meyakinkan, seperti: kedudukan wali dalam nikah, hak
waris cucu, ijab qabul dalam jual beli, investasi dalam mudharabah dan
sebagainya. Para ulama’ berbeda pendapat hasil ijtihad yang berbeda antar para
mujtahid:
a.
Kebanyakan ulama’ (menurut riwayat
Al-Mawardi dan Al-Royani) seperti Abu Hasan Al Asy’ari dan Al-Mu’tazilah
(menurut
Al-Mawardi) berpendapat bahwa setiap mujtahid yang mengemukakan hasil
ijtihadnya terdapat kebenaran. Karena itu, setiap mujtahid itu adalah benar,
dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa hukum Allah ada pada lisan setiap
mujtahid.
b.
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
syafi’i dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa yang benar hanya terdapat pada
satu di antara beberapa pendapat mujtahid yang berbeda itu. Namun mengenai satu
pendapat mana yang benar, tidak bisa ditentukan oleh pandangan manusia, hanya
Allah yang mengetahuinya.
Jumhur ulama’ (yang mengatakan bahwa
yang benar hanya satu dan yang lain salah namun tidak berdosa) mengemukakan
argumen dengan dalil dari Alqur’an, Sunnah dan Ijma;
a. Dalil
Alqur’an yang di antaranya adalah surat Al-Anbiya’ Ayat 78-79:
y¼ãr#yur z`»yJøn=ßur øÎ) Èb$yJà6øts Îû Ï^öptø:$# øÎ) ôMt±xÿtR ÏmÏù ãNoYxî ÏQöqs)ø9$# $¨Zà2ur öNÎgÏJõ3çtÎ: úïÏÎg»x© ÇÐÑÈ $yg»oYôJ£gxÿsù z`»yJøn=ß 4 xà2ur $oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 $tRö¤yur yìtB y¼ãr#y tA$t7Éfø9$# z`ósÎm7|¡ç uö©Ü9$#ur 4 $¨Zà2ur úüÎ=Ïè»sù ÇÐÒÈ
78. dan
(ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
79.
Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih
tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu dan
telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama
Daud. dan kamilah yang melakukannya.
Jalan pikiran argumentasi dari ayat
di atas bahwa Allah telah memberikan secara khusus kepada Sulaiman pemahaman
yang haq tentang kejadian yang dihadapi itu. Berarti dalam hal ini Dawud tidak
memiliki pemahaman. Ini mengandung arti bahwa di antara keduanya ada yang betul
dan ada yang salah.
b. Dalil
dari Sunnah adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
مَنْ اِجْتَهَدَ فَاصَابَ فَلَهُ
اَجْرَانِ وَمَنْ أَخْطَأَفَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Siapa
yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang
siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR.
Bukhari Muslim)
Dari sabda Nabi Muhammad di atas jelaslah
bahwa ijtihad itu ada yang salah di samping itu ada pula yang benar. Hal ini
berarti bahwa dari sekian banyak pendapat mujtahid yang berbeda tidak mungkin
benar semua.
c. Argumen
dalam bentuk ijma’ adalah bahwa para sahabat berijma’ dalam menggunakan kata
“salah” dalam berijtihad. Di antaranya apa yang diriwayatkan dari Abu Bakar
yang mengatakan:
“Saya berkata
tentang hukum kalalah itu berdasarkan pendapat saya. Bila betul, maka itu
adalah dari Allah. Bila salah, itu adalah dari saya sendiri dan dari syaithan.
Sedangkan Allah dan Rasul-Nya terlepas dan bersih dari kesalahan itu.”
Dari ucapan Abu Bakar itu jelaslah
bahwa para sahabat dalam berijtihadnya ada yang mencapai kebenaran dan ada pula
yang yang salah. Tidak pernah terjadi seorang sahabat mengingkari pendapat
sahabat lain karena kesalahannya. Ini berarti bahwa mereka telah ijma’ bahwa
yang benar dari beberapa pendapat yang berbeda itu hanya satu.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis kata “ijtihad”
merupakan bentuk masdar dari lafadz “ijtihada-yajtahidu-ijtihadan”, yang
diambilkan dari akar kata “jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti: mengarahkan
segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad” menurut
bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan
maksimal.
Ijtihad menurut ulama’ ushul ialah usaha seorang yang ahli
fiqih yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat
amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Ijtihad sangat
diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahan pun
semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan
perkembangan zaman tetapi tetap mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunah.
Ijtihad
berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak sampai ke
tingkat hadist mutawatir seperti hadist ahad atau sebagai upaya memahami
redaksi ayat atau hadist yang tidak tegas pengertianya sehingga tidak langsung
dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip
hukum yang terdapat dalam al-quran dan sunah seperti dengam qiyas, istihsan,
dan maslahah mursalah.
Pengembangan
prinsip-prinsip hukum dalam Alquran dan Assunah adalah penting, karena
dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadist hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu
dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
Ijtihad
bisa benar dan juga bisa salah. jika
berijtihad dan ternyata benar maka
mendapatkan dua pahala, dan jika berijtihad tetapi salah maka
mendapatkan satu pahala.
DAFTAR PUSTAKA
Mukri Aji, Ahmad. 2010.
Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd. Bogor:
Pustaka Pena Ilahi.
Effendi, Satria dan M.
Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta:
Prenada Media.
Saputra,
Mundzier dan Djejen Zainuddin. 2008. Pendidikan
Agama Islam Fiqih. Jakarta : Karya Toha Putra.
Abu Zahrah, Muhammad.
2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Syarifuddin, Amir.
2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu
Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang.
Biografi Pemakalah
Nama :
Miftahuddin
Tempat dan
Tanggal Lahir : Pekalongan, 5 April
1994.
Alamat : Wonoyoso
Gg. 3 Buaran Pekalongan.
Motto :
Belajarlah!, karena sesungguhnya Ilmu akan menjadi penghias bagi Ahlinya.
Nama : Tri Hadi
Susanto
Tempat
dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 10 April
1988.
Alamat : Landung Sari
Gg. 2 Pekalongan.
Motto : Tiada
keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan dan Saya percaya
pada Saya sendiri.
[1] Dr. KH.
Ahmad mukri Aji, MA, Rasionalitas Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka
Pena Ilahi, 2010). Hal. 21.
[2] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012),
hlm 567.
[3] Dr. KH. Ahmad mukri Aji, MA, Rasionalitas Ijtihad Ibn
Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010). Hal. 21-22.
[4] Prof. Dr.
H. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada media,
2005). Cet 1. Hal. 247-248
[5] Mundzier
Suparta dan Djejen Zainuddin, Pendidikan
Agama Islam Fiqih, (Jakarta: Karya Toha Putra, 2008), cet.1, hal.40
[6] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Prenada media, 2005). Cet 1. Hal. 249-250.
[7] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung: Pustaka Setia, 2010). Cet 4. Hal. 104-106.