MAKALAH
USHUL FIQH
“KEDUDUKAN
QIYAS”
Dosen
Pengampu : Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag
Disusun oleh :
1. Miftahuddin (2013002009)
2. Tri Hadi Susanto (2013002005)
PROGRAM
STUDI EKONOMI ISLAM
STIE
MUHAMMADIYAH PEKALONGAN
2013/2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Puji Syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Kedudukan Qiyas” yang mana pembahasannya
meliputi : Pengertian Qiyas, Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas, Penolak dan
Penerima Qiyas, Rukun Qiyas serta Macam-macam Qiyas.
Makalah ini dapat kami susun
sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai Mata Kuliah Ushul Fiqh pada
salah satu Mata Kuliah Program Studi Ekonomi Islam di STIE Muhammadiyah
Pekalongan. Tak Luput makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta
dorongan dari Orangtua, Dosen Pengampu dan Teman-teman seperjuangan, Dalam
Penyusunan Makalah kami mengambil referensi dari buku-buku Ushul Fiqh seperti
Karya Muhammad Abu Zahrah, Amir Syarifuddin, Rachmat Syafe’i, Drs. H. Moh
Rifa’i serta 5% dari Penelusuran Internet.
Penyusun menyadari sepenuhnya
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih
terdapat kekurangan, Oleh karena itu semua kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat Kami harapkan guna perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penyusun
berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,
Pekalongan,13 Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Sebagai
Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang mengatur segala
aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu serta aturan aturan dalam menjalankannya.
Dan semua aturan serta batasan hukum yang mengatur Umat Islam didasarkan pada
Alqur’an dan Sunnah.
Banyak
peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, Karena di dalam Alqur’an dan
Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab itu
diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan
menentukan suatu Hukum.
Dulu
ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang timbul mudah diatasi karena
dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah, tetapi dimasa sekarang jikalau ada
permasalahan yang timbul bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul yang
tidak kita temukan dalam Alqur’an maupun Sunnah. Di sini para Ulama’ melakukan
pendekatan yang sah yaitu dengan Ijtihad dan salah satu ijtihad itu adalah
dengan Qiyas.
Qiyas
merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap
suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan
secara jelas dalam Alqur’an dan Sunnah.
Dasar pemikiran Qiyas itu adalah
adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir setiap Hukum di luar
bidang ibadah dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh
Allah. Illat adalah patokan utama
dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Objek masalah adalah sesuatu yang
tidak memiliki Nash. Atas dasar Keyakinan tersebut bahwa tidak ada yang luput
dari Hukum Allah, Maka setiap Muslim meyakini setiap peristiwa atau kasus yang
terjadi pasti ada hukumnya.
Dari
paparan latar belakang di atas, Serta mengingat banyak mahasiswa yang masih
belum memahami sepenuhnya mengenai Sumber Hukum Qiyas, Maka dari itu kami akan
membahas tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Qiyas ?
2.
Bagaimana Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas
?
3.
Siapa Penolak dan Penerima Qiyas ?
4.
Apa Saja Rukun-Rukun Qiyas?
5.
Apa Saja Macam-Macam Qiyas ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui secara detail mengenai
Qiyas.
2.
Untuk mengetahui Kedudukan dan
Kehujjahan Qiyas.
3.
Untuk mengetahui Penolak dan Penerima
Qiyas.
4.
Untuk mengetahui Rukun-Rukun Qiyas.
5. Untuk
Mengetahui Macam-Macam Qiyas.
A. Pengertian Qiyas
Qiyas
menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain : Qiyas
ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada
nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat
hukum.[1]
1.
Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam
hal menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.
2.
Qadhi Abu Bakar
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam
hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.
3.
Ibnu Subkhi dalam Jam’u
al-Jawami’
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).
4.
Abu Hasan al-Bashri
Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama
dalam ‘illat hukum
menurut mujtahid.
5.
Al-Baidhawi
Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada
sesuatu lain yang diketahui karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum
menurut pandangan ulama yang menetapkan.
6.
Shaadru al-Syari’ah
Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal
kepada furu’ karena ada kesatuan ‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan
pemahaman lughowi semata.
Dengan
cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum
sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat
jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik
terkandung dalam nash tersebut. Mengenai Qiyas ini Imam Syafi’i mengatakan:
“Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat islam wajib
melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka
harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah
Qiyas.”
Jadi
Hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni
Hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam Alqur’an dan Hadits, ada kalanya
harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian
itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.
Sebagaimana
di terangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya
dengan hal lain yang yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan ditetapkan berdasarkan penalaran
yang jernih, sebab asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis
berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan
analogis itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat
antara dua masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang
ditetapkan.[3]
B. Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas
Sebagian
para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa qiyas
dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum
ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau
peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama’
yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah
salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah.
Ulama’
Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh tetapi tidak ada
satu nashpun dalam ayat Alqur’an yang menyatakan wajib memakai qiyas.
Ulama’
Syi’ah Imamiyah dan An-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak bisa
dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan karena mengamalkan qiyas
sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal. Mereka mengambil dalil QS.
Al Hujurat: 1
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qãBÏds)è? tû÷üt/ Äyt «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. “
Mengenai
dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:
a.
Dalil
Alqur’an
· Allah SWT memberi petunjuk bagi
penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana dalam surat Yasin
(36), ayat 78-79:
z>uÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷Õã zN»sàÏèø9$# }Édur ÒOÏBu ÇÐÑÈ
ö@è% $pkÍósã üÏ%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î/ @,ù=yz íOÎ=tæ ÇÐÒÈ
78. Dan ia membuat
perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata : “ siapakah
yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan
kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian
hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal
ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada
penciptaan pertama kali.
· Allah menyuruh menggunakan qiyas
sebagaimana dipahami dari beberapa ayat Alqur’an, seperti dalam surat Al-Hasyr
(59), ayat 2 :
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏdÌ»tÏ ÉA¨rL{ Îô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/Ìøä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷r'Î/ Ï÷r&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
“Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Pada
ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil
dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam).
Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan
kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada
orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti
perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang
serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan
suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
· Firman Allah dalam surat An-Nisa’
(4) ayat 59:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu. Jika kamu
berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.”
Perintah
menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum Alqu’an, perintah menaati Rasul
berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang terdapat dalam Sunnah dan
perintah menaati ulil amri berarti perintah mengikuti hukum hasil ijma’ ulama.
Sedangkan kata-kata akhir (Jika kamu
berselisih paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan
Rasul), berarti perintah untuk mengikuti qiyas dalam hal-hal terdapat perbedaan.
Ini memberi penjelasan bahwa pengembalian itu berlaku atas perintah Allah dan
Rasul. Tidak mungkin dikatakan bahwa kata “ruju’” itu berarti mengembalikan
kepada Alqur’an dan Sunnah, karena ruju’ kepada qiyas itu berlaku setelah
adanya perbedaan pendapat sedangkan perintah mengamalkan Alqur’an dan Sunnah
tanpa disangkutkan kepada adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat di
antar umat islam tentang hukum syara’ jarang terjadi pada sesuatu yang telah
ditetapkan dengan nash Alqur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa yang dimaksud perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang
tidak terdapat dalam nash syara’.arti ayat itu adalah suruhan untuk
menghubungkan kepada Alqur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk
mencari kesamaannya dengan yang ada pada nash syara’. Kesamaan itu hanya dapat
diketahui melalui penggunann nalar (ra’yu).
b.
Dalil
Sunnah
Di antara dalil sunnah yang
dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:
· Hadits mengenai percakapan Nabi
dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana.
Nabi bertanya, “dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu
diajukan sebuah perkara? “Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan
kitab Allah”. Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam
kitab Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau
dalm Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya akan
menggunakan ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala puji bagi
Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang
diridhoi Rasul Allah.”
Hadits tersebut merupakan dalil
sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’, tentang kekuatan qiyas sebagai dalil
Syara’
· Nabi memberi petunjuk kepada
sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal,
kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut. Dalam Hadits dari Ibnu
‘Abbas menurut riwayat An-Nasa’i Nabi bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila
bapakmu berutang, apakah engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si penanya
(al-Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih
patut untuk dibayar.”
Hadits di atas adalah tanggapan atas
persoalan si penanya yang bapaknya bernazar untuk haji tetapi meninggal dunia
sebelum sempat mengerjakan haji. Ditanyakannya kepada Nabi dengan ucapannya,
“Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?” Keluarlah jawaban Nabi
seperti tersebut di atas.
Dalam hadits itu, Nabi memberikan
taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan utang kepada Allah, yaitu
haji lebih patut untuk dibayar. Dalil ini menurut jumhur ulama’ cukup kuat
sebagai alasan penggunaan qiyas.
c. Atsar Shahabi
Adapun argumentasi jumhur ulama’
berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas, adalah :
· Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu
Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata :
Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab
Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul.
Jika juga kamu peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.
Pesan Umar dilanjutkan dengan :
Ketahuilah kesamaan dan keserupaan:
Qiyas-kanlah segala urusan waktu itu.
Bagian pertama atsar ini menjelaskan
suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam Alqur’am
maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh
titik perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila
menemukan kesamaan.
·
Para
Sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh yang
popular adalah kesepakatan sahabat mengangkat Abu bakar menjadi khalifah
pengganti Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas, yaitu karena Abu bakar
pernah ditunjuk Nabi menggantikan beliau nmenjadi imam shalat jamaah sewaktu
beliau sakit. Hal ini dijadikan alasan untuk mengangkat abu bakar menjadi
khalifah. Para sahabat berkata: “Nabi telah menunjukkannya menjadi pemimpin
urusan agama kita, kenapa kita tidak memilihnya untuk memimpin urusan dunia
kita.”
Kedudukan abu bakar sebagai khalifah
diqiyas-kan kepada kedudukannya sebagai imam shalat jamaah. Ternyata argumen
ini dipahami semua sahabat (yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka
sepakat untuk mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.[4]
C. Penolak dan Penerima Qiyas
Berhubung qiyas merupakan aktivitas
aqal, maka ada beberapa ulama’ yang berselisih paham dengan ulama’ jumhur,
yakni mereka tidak mempergunakan qiyas. Di kalangan ahli fiqh dalam hal qiyas
ini, terdapat tiga kelompok sebagai berikut :
1.
Kelompok Jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai
dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nash baik dalam Alqur’an, Sunnah,
Pendapat sahabat maupun ijma’ ulama. Hal itu dilakukan dengan tidak berlebihan
dan melampaui batas.
Mereka Menggunakan Dalil :
z>uÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷Õã zN»sàÏèø9$# }Édur ÒOÏBu ÇÐÑÈ
ö@è% $pkÍósã üÏ%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î/ @,ù=yz íOÎ=tæ ÇÐÒÈ
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya,
ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah
hancur luluh?”
79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.
Ayat
ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang
belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya
menciptakan tulang belulang pertama kali.
Kelompok Zahiriyah menolak argumentasi ini, mereka
mengatakan bahwa Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang
belulang oleh karena ia menciptakannya pertama kali.
2.
Madzab Zhahiriyah dan Syi’ah
Imamiyah, yang
sama sekali tidak mempergunakan qiyas. Madzab zhahiriyah tidak mengakui adanya
‘illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk
menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai
dengan ‘illat. Mereka membuang semua itu jauh-jauh dan sebaliknya, mereka
menetapkan suatu hukum hanya dari teks nash semata. Dengan demikian mereka
mempersempit kandungan lafadz, tidak mau memperluas wawasan untuk mengenali
tujuan legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari teks semata.
Mereka menggunakan dalil :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qãBÏds)è? tû÷üt/ Äyt «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. “
Ayat
ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak
ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan
sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya
dilarang
3.
Kelompok yang lebih memperluas
pemakaian qiyas
yang berusaha berbagai hal karena persamaan ‘illat. Bahkan dalam kodisi dan
masalah tertentu, kelompok ini menerapkan
qiyas sebagai pentakhsish dari keumuman dalil Alqur’an dan Sunnah.[5]
D. Rukun Qiyas
Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah
mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu
peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa. Maka rukun qiyas ada empat
macam, yaitu :
1.
Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang
sudah ada Nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum
teolog adalah suatu Nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata
lain suatu Nash yang menjadi Dasar Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang
dijadika tempat mengqiyaskan), Mahmul ‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah
bih (tempat menyerupakan).
2.
Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang
tidak ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya
dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musyabbah (yang
diserupakan).
3.
Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang
ditetapkan oleh suatu Nash.
4.
‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat
pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl mempuyai suatu hukum. Dan dengan
sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan
hukum ashl.[6]
E. Macam-Macam Qiyas
1.
Qiyas
Aulawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya
hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang
memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya:
berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau
kata-kata lain yang semakna dan menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai dengan
firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17) : 23.
4Ó|Ós%ur y7/u wr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$Î) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7t x8yYÏã uy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdxÏ. xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan,
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (lemah lembut)”.
(QS. Al-Isra’
: 23)
2.
Qiyas
Musawy
Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashl
maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta
anak yatim berdasarkan firman Allah Surat An-Nisa’ (4):10.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
"Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)".
Dapat
mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau
salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti
memakan harta anak yatim tersebut.
3.
Qiyas
Adna
Qiyas adna yaitu adanya hukum far’u lebih lemah bila dirujuk
dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum
dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar
menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini
‘illat hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang
bisa dimakan dan ditakar.[7]
BAB III
Kesimpulan
Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya
dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits.
Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits,
kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut.
Sebagian
para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa qiyas
dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum
ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau
peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil
para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah,
diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah.
Abu Zahrah, Muhammad. 2012.
Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Syarifuddin, Amir.
2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2010.
Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka
Setia.
Rifa’i, Moh. 1978. Ilmu
Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang.
Wikipedia. “Qiyas”. 16
Maret 2104. http://en.wikipedia.org/wiki/Qiyas.
Biografi Pemakalah
Nama :
Miftahuddin
Tempat dan
Tanggal Lahir : Pekalongan, 5 April 1994.
Motto :
Belajarlah!, karena sesungguhnya Ilmu akan menjadi penghias bagi Ahlinya.
Nama : Tri Hadi
Susanto
Tempat
dan Tanggal Lahir : Pekalongan, 10 April
1988.
Alamat : Landung Sari
Gg. 2 Pekalongan.
Motto : Tiada
keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan dan Saya percaya
pada Saya sendiri.
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1997), hlm 144-147
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 336-337.
[4]
Prof. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
(Jakarta : Kencana, 2011), hlm 177-187.
[5]
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,
(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 339-340
[6]
Prof. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul
Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm 87-88.
[7]
Drs. H. Moch Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam
Lengkap, (Semarang : Karya Toha Putra Semarang, 1978), hlm 44-45
syukran akh, izin copas