Oleh
: Miftahuddin
Pasar,
negara, individu dan masyarakat selalu menjadi diskursus hangat
dalam ilmu ekonomi. Menurut ekonomi kapitalis (klasik)[1], pasar memainkan peranan yang sangat penting
dalam sistem perekonomian. Ekonomi kapitalis menghendaki pasar bebas untuk
menyelesaikan permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi sampai
distribusi. Semboyan kapitalis adalah lassez faire et laissez le monde va de
lui meme [2] (Biarkan ia berbuat dan biarkan ia berjalan,
dunia akan mengurus diri sendiri). Maksudnya, biarkan sajalah perekonomian
berjalan dengan wajar tanpa intervensi pemerintah, nanti akan ada suatu tangan
tak terlihat (invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut
ke arah equilibrium. Jika banyak campur tangan pemerintah , maka pasar
akan mengalami distorsi yang akan membawa perekonomian pada ketidakefisienan (inefisiency)
dan ketidakseimbangan.
Menurut
konsep tersebut, pasar yang paling baik adalah persaingan bebas (free
competition), sedangkan harga dibentuk oleh oleh kaedah supply and
demand. Prinsip pasar bebas akan menghasilkan equilibrium dalam
masyarakat, di mana nantinya akan menghasilkan upah (wage) yang
adil, harga barang (price) yang stabil dan kondisi tingkat pengangguran
yang rendah (full employment). Untuk itu peranan negara dalam ekonomi
sama sekali harus diminimalisir, sebab kalau negara turun campur
bermain dalam ekonomi hanya akan menyingkirkan sektor swasta sehingga akhirnya
mengganggu equilibrium pasar. Maka dalam paradigma kapitalisme,
mekanisme pasar diyakini akan menghasilkan suatu keputusan yang adil dan arif
dari berbagai kepentingan yang bertemu di pasar. Para pendukung paradigma
pasar bebas telah melakukan berbagai upaya akademis untuk meyakinkan bahwa
pasar adalah sebuah sistem yang mandiri (self regulating).
Sementara
itu, sistem ekonomi sosialis yang dikembangkan oleh Karl Max[3] menghendaki maksimasi peran negara. Negara
harus menguasai segala sektor ekonomi untuk memastikan keadilan kepada
rakyat mulai dari means of production sampai mendistribusikannya kembali
kepada buruh, sehingga mereka juga menikmati hasil usaha. Pasar dalam paradigma
sosialis, harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan pemilik modal (capitalist)
yang serakah sehingga monopoli means of production dan melakukan
ekspolitasi tenaga buruh lalu memanfaatkannya untuk mendapatkan prifit
sebesar-besarnya. Karena itu equilibrium tidak akan pernah tercapai,
sebaliknya ketidakadilan akan terjadi dalam perekonomian masyarakat. Negara
harus berperan signifikan untuk mewujudkan equilibrium dan keadilan
ekonomi di pasar.
Menurut
faham ini, harga-harga ditetapkan oleh pemerintah, penyaluran barang
dikendalikan oleh negara, sehingga tidak terdapat kebebasan pasar. Semua warga
masyarakat adalah ”karyawan” yang wajib ikut memproduksi menurut kemampuannya
dan akan diberi upah menurut kebutuhannya. Seluruh kegiatan ekonomi atau
produksi harus diusahakan bersama. Tidak ada usaha swasta, semua perusahaan,
termasuk usaha tani, adalah perusahaan negara (state entreprise). Apa
dan berapa yang diproduksikan ditentukan berdasarkan perencanaan
pemerintah pusat (central planning) dan diusahakan langsung oleh negara.
Kedua
ajaran sistem ekonomi di atas cukup berkembang dalam pemikiran ekonomi
kontemporer, walaupun akhirnya sistem ekonomi sosialis mengalami
kemunduran dan mulai ditinggalkan. Lalu bagaimana konsep ekonomi Islam tentang
mekanisme pasar tersebut, Bagaimana ajaran Nabi Muhammad dan para ulama
tentangnya. Bolehkah negara intervensi harga (pasar) dan sejauhmana kebolehan
tersebut. Dan apa saja jenis distorsi pasar yang dilarang Islam. ? Inilah yang
akan dibahas dalam makalah ini.
Mekanisme
Pasar : Perspektif Islam
Ekonomi
Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (iqtishad),
tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah satunya menjadi dominan dari
yang lain. Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan
cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan
rusaknya keseimbangan pasar. Namun dalam kenyataannya sulit ditemukan pasar
yang berjalan sendiri secara adil (fair). Distorasi pasar tetap sering
terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak.
Pasar
yang dibiarkan berjalan sendiri (laissez faire), tanpa ada yang
mengontrol, ternyata telah menyebabkan penguasaan pasar sepihak oleh pemilik
modal (capitalist) penguasa infrastruktur dan pemilik informasi. Asymetrik
informasi juga menjadi permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh pasar.
Negara dalam Islam mempunyai peran yang sama dengan dengan pasar,
tugasnya adalah mengatur dan
mengawasi ekonomi,
memastikan
kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, informasi yang merata dan
keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas menjadikannya dominan,
sebab negara, sekali-kali tidak boleh mengganggu pasar yang berjalan seimbang,
perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam sistem pasar.
Konsep
makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadits Rasululllah Saw
sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan
harga-harga barang di kota Madinah. Dengan hadits ini terlihat dengan jelas
bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep
mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut diriwayatkan
sebagai berikut :
غلا
السعر فسعر لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم :
ان
الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى
ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها اياه بدم ولا مال (رواه
الدارمى)
“Harga
melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran
kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan
harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan
harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan
bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu
menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”[4]
Inilah
teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak
menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada
mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan
mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang
menentukannya.
Sungguh
menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan,
ucapan Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan
kehendak Allah yang sunnatullah atau hukum supply and demand.
Menurut
pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi
Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini,
pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hands).
Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands
(tangan-tangan Allah). [5]
Oleh
karena harga sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan di pasar, maka
harga barang tidak boleh ditetapkan pemerintah, karena ketentuan harga
tergantung pada hukum supply and demand.
Namun
demikian, ekonomi Islam masih memberikan peluang pada kondisi tertentu untuk
melalukan intervensi harga (price intervention) bila para pedagang
melakukan monopoli dan kecurangan yang menekan dan merugikan konsumen.
Di
masa Khulafaur Rasyidin, para khalifah pernah melakukan intrevensi pasar, baik
pada sisi supply maupun demand. Intrevensi pasar yang dilakukan
Khulafaur Rasyidin sisi supply ialah mengatur jumlah barang yang
ditawarkan seperti yang dilakukan Umar bin Khattab ketika mengimpor gandum dari
Mesir untuk mengendalikan harga gandum di Madinah.
Sedang
intervensi dari sisi demand dilakukan dengan menanamkan sikap sederhana
dan menjauhkan diri dari sifat konsumerisme. [6] Intervensi pasar juga dilakukan dengan
pengawasan pasar (hisbah). Dalam pengawasan pasar ini Rasulullah
menunjuk Said bin Said Ibnul ‘Ash sebagai kepala pusat pasar (muhtasib)
di pasar Mekkah. Penjelasan secara luas tentang peranan wilayah hisbah ini akan
dikemukakan belakangan.
Mekanisme
Pasar Menurut Ilmuwan Muslim Klasik
Kajian
tentang mekanisme pasar telah banyak di bahas oleh para ulama klasik jauh
sebelum para ekonom Barat membahasnya. Ulama yang pertama kali membahas
mekanisme pasar secara empirik adalah Abu Yusuf, yang hidup di awal abad kedua
Hijriyah (731-798). Dia telah membahas tentang hukum supply and demand dalam
perekonomian.
Pemahaman
yang berkembang ketika itu mengatakan bahwa bila tersedia sedikit barang,
maka harga akan mahal dan bila tersedia banyak barang, maka harga akan
murah. Hal tersebut dapat digambarkan pada graik di bawah ini.
Gambar
1
Semakin
Sedikit barang, harga semakin naik
Dengan
kata lain, pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan harga dan kuantitas
hanya memperhatikan kurva permintaan. Abu Yusuf membantah pemahaman seperti
ini, karena pada kenyataannya persediaan barang sedikit tidak selalu
dikuti dengan kenaikan harga, dan sebaliknya persediaan barang melimpah belum
tentu membuat harga akan murah. Abu Yusuf mengatakan,” Kadang-kadang
makanan berlimpah, tetapi tetap mahal, dan kadang-kadang makanan sangat sedikit
tetapi murah. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Adalah
benar bahwa tingkat harga tidak hanya bergantung pada penawaran semata, namun
kekuatan permintaan juga penting. Oleh karena itu kenaikan atau penurunan
tingkat harga tidak selalu harus berhubungan dengan kenaikan dan
penurunan produksi saja. Dalam mempertahankan pendapat ini Abu Yusuf mengatakan
bahwa ada beberapa variabel dan alasan lainnya yang bisa mempengaruhi, tetapi
ia tidak menjelaskan secara detail, mungkin karena alasan-alasan
penyingkatan.[7] Mungkin variabel itu adalah pergeseran dalam
permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau penimbunan dan
penahanan barang. Dalam konteks ini Abu Yusuf mengemukakan bahwa
tidak ada batasan tertentu tentang rendah dan mahalnya harga barang. Hal
tersebut ada yang mengaturnya. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian
juga mahal bukan disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal adalah
ketentuan Allah.[8]
Dalam
hal ini Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi berkomentar, Telaahan Abu Yusuf
tentang mekanisme pasar harus diterima sebagai pernyataan hasil pengamatannya
saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan
tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga murah.[9]
Dengan
demikian meskipun Abu Yusuf tidak mengulas secara rinci tentang mekanisme pasar
(yakni tentang variabel-variabel lain), Namun pernyataannya tidak menyangkal
pengaruh supply dan demand dalam penentuan harga.
Berbeda
dengan Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah melakukan kajian yang
menyeluruh tentang permasalahan mekanisme pasar. Dia menganalisa masalah
ini dari perspektif ekonomi dan memaparkan secara detail tentang
kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi tingkat harga. Jadi, Sekitar lima abad
sebelum kelahiran Adam Smith (1776), Ibnu Taymiyah (1258) telah membicarakan
mekanisme pasar menurut Islam, Melalui konsep teori harga dan kekuatan supply
and demand dalam karya-karyanya, seperti yang termuat dalam kitab
Al-Hisbah. Padahal Ibnu Taymiyah sama sekali belum pernah membaca buku terkenal
The wealth of Nation, karangan Bapak ekonomi Klasik, Adam Smith, karena
memang Ibnu Taymiyah lahir lima ratus tahun sebelum Adam Smith.
Ketika
masyarakat pada masanya beranggapan bahwa kenaikan harga merupakan akibat dari
ketidakadilan dan tindakan melanggar hukum dari si penjual, atau mengkin
sebagai akibat manipulasi pasar, Ibnu Taymiyah langsung membantahnya. Dengan
tegas ia mengatakan bahwa harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan (supply and demand).[10]
Dalam
pandangannya yang lebih luas, Ibnu Taimiyyah lebih lanjut mengemukakan tentang
konsep mekanisme pasar didalam bukunya “Al-Hisbah fil Islam”. Beliau
mengatakan, bahwa di dalam sebuah pasar bebas (sehat), harga dipengaruhi dan
dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan (supply and demand).
Suatu barang akan turun harganya bila terjadi keterlimpahan dalam produksi atau
adanya penurunan impor atas barang-barang yang dibutuhkan. Dan sebaiknya ia
mengungkapkan bahwa suatu harga bisa naik karena adanya “penurunan jumlah
barang yang tersedia” atau adanya “peningkatan jumlah penduduk” mengindikasikan
terjadinya peningkatan permintaan.[11]
Ibnu
Taymiyah mengatakan bahwa naik turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh
tindakan sewenang-wenang dari penjual. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran
yang menurun akibat inefisiensi produksi, penurun jumlah impor
barang-barang yang diminta, atau juga tekanan pasar. [12]
Karena
itu, jika permintaan terhadap barang meningkat, sementara penawaran menurun,
maka harga barang akan naik. Begitu juga sebaliknya, jika permintaan menurun,
sementara penawaran meningkat, maka harga akan turun. (kelangkaan atau
melimpahnya barang mungkin disebabkan tindakan yang adil dan mungkin juga
disebabkan ulah orang tertentu secara tidak adil/zalim [13]
Kelangkaan
minyak tanah misalnya, bisa terjadi disebabkan ulah oknum-oknum tertentu dengan
mengekspor keluar negeri, sehingga pasar minyak tanah di dalam negeri menjadi
langka.
Selanjutnya
Ibnu Taymiyah menyatakan, penawaran bisa dari produksi domestik dan impor.
Terjadinya perubahan dalam penawaran, digambarkan sebagai peningkatan atau
penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan perubahan permintaan
(naik atau turun), sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan konsumen.[14] Di sini Ibnu Taymiyah benar-benar telah
berhasil mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengruhi naik turunnnya harga.
Besar kecilnya kenaikan harga, tergantung pada besar kecilnya perubahan
penawaran atau permintaan. Bila seluruh transaksi sudah sesuai aturan, maka
kenaikan harga yang terjadi merupakan kehendak Allah atau sunnatullah[15] (hukum supply and demand).
Adam Smith menyebutnya dengan istilah invisible hands. Permintaan akan
barang sering berubah-ubah. Perubahan itu disebabkan beberapa faktor, antara
lain besar kecilnya jumlah penawaran, jumlah orang yang menginginkannya dan
besar kecilnya kebutuhan terhadap barang tersebut, selera, harga barang itu
sendiri, harga barang lain yang terkait, tingkat pendapatan perkapita, dsb.
Ibnu
Taymiyah membedakan pergeseran kurva penawaran dan permintaan, yakni tekanan
pasar yang otomatis dan perbuatan zalim dari penjual, misalnya penimbunan (iktikar).
Pada
mulanya, titik equilibrium terjadi pada titik A dengan harga P1 dan
jumlah Q1. Namun karena terjadi inefisiensi produksi, maka terjadi
kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung oleh perusahaan . Kenaikan
biaya produksi ini pergeseran kurva supply dari S1 menjadi S2. Karena
pergeseran ini tercipta titik equilibrium baru pada titik B. Pada titik
B ini terjadi penurunan kuantitas yang ditawarkan dari Q1 menjadi Q2, dan pada
saat yang sama terjadi kenaikan harga dari P1 menjadi P2.
Selanjutnya
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi harga adalah
intensitas dan besarnya permintaan, kelangkaan, atau melimpahnya barang,
kondisi kepercayaan dan diskonto pembayaran tunai. Demand terhadap barang
seringkali berubah. Perubahan tersebut dikarenakan jumlah penawaran,
jumlah orang yang menginginkannya, dan besar kecilnya kebutuhan terhadap barang
tersebut. Bila penafsiran ini benar, Ibnu Taymiyah telah mengasosiakan harga
tinggi dengan intesnsitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif barang
terhadap total kebutuhan pembeli. Jika kebutuhan besar, harga akan naik, jika kebutuhan
kecil maka harga akan turun.
Pada
mulanya titik equilibrium terjadi pada saat E1 dengan harga P1 dan kuantitas
Q1. Bila permintaan terhadap barang meningkat, maka terjadi pergreseran kurva
permintaan dari D1 ke D2. Dan bila pada saat yang sama penawaran berkurang,
maka terjadi pergeseran kurva penawaran dari S1 menjadi S2. Naiknya permintaan
dan turunnnya penawaran ini menyebabkan terbentuknya titik equilibriujm baru
E2, dengan harga yang lebih tinggi P2 dan kuanytitas yang lebih sedikit Q2.
Selanjutnya,
harga juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan terhadap orang-orang yang
terlibat dalam transaksi. Bila seseorang terpercaya dan dianggap mampu dalam
membayar kredit, maka penjual akan senang melakukan transaksi dengan orang
tersebut. Tapi bila kredibilitas seseorang dalam masalah kredit telah
diragukan, maka penjual akan ragu untuk melakukan transaksi dengan orang
tersebut dan cenderung memasang harga tinggi [16] Selanjutnya Ibnu Taymiyah memaparkan kredit
dengan penjualan dan pengaruhnya terhadap harga. Ketika memetapkan harga,
penjual memperhitungkan resiko dan ketidakpastian pembayaran pada masa
mendatang. Ia juga menjelaskan kemungkinan penjual menawarkan diskon untuk
transaksi tunai. Argumen Ibnu Taymiyah, bukan hanya menunjukkan kesadarannya
mengenai kekuatan penawaran dan permintaan, melainkan juga perhatiannya
terhadap intensif, disinsentif, ketidakpastian dan resiko yang terlibat dalam
transaksi terhadap analisis ekonomi, tidak saja bagi orang yang hidup di zaman
Ibnu Taymiyah, tetapi juga pada masa kini.
Ibnu
Taymiyah menentang adanya intervensi pemerintah dengan peraturan yang
berlebihan saat kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang
kompetitif. Dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna, ia
merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga
yang lebih tinggi dibandingkan harga modal, padahal orang membutuhkan barang
itu, maka penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga ekuivalen (Ibnu
Taymiyah, Al-Hisbah Fil Islam, p. 25). Secara kebetulan, konsep ini
bersinonim dengan apa yang disebut dengan harga yang adil.
Lebih
jauh, bila ada unsur-unsur monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan
dan kebutuhan pokok lainnya), pemerintah harus melarang kekuatan monopoli. Maka
dalam hal ini, intervensi pemerintah menjadi keharusan.
Seperti
yang telah disebutkan, ketentuan ini hanya berlaku jika pasar dalam keadaan normal/adil.
Akan tetapi apabila pasar tidak dalam keadaan sehat atau terjadi di dalamnya
tindak kezaliman, seperti adanya kasus penimbunan, monopoli, riba, penipuan,
dan lain-lain. maka menurut pandangan Ibn Taimiyah, di sinilah letak peranan
pemerintah yang sangat urgen untuk melakukan regulasi harga pada tingkat yang
adil antara produsen dan konsumen, dengan tidak ada pihak yang dirugikan atau
diekploitasi kepentingannya oleh pihak lain. Jelaslah di sini, bahwa menurut
konsep Ibn Taimiyah, pemerintah hanya memiliki kewenangan menetapkan harga
apabila terjadi praktek kezaliman di dalam pasar. Sedangkan di dalam pasar yang
adil (sehat), harga diserahkan kepada mekanisme pasar atau tergantung pada
kekuatan supply dan demand. [17]
Al-Ghazali
Kalau
Ibnu Taymiyah, yang hidup lima ratus tahun sebelum Adam Smith, sudah
membicarakan teori harga, ternyata al-Ghazali (1058-1111) yang hidup tujuh
ratus tahun sebelum Smith, juga telah membicarakan mekanisme pasar yang
mencakup teori harga dan konsep supply and demand.
Memang,
bila diteliti kajian-kajian ilmuwan muslim klasik, kita bisa berdecak kagum
melihat majunya pemikiran mereka dalam ekonomi Islam, jauh sebelum ilmuwan
Barat mengembangkannya.
Al-Ghazali
dalam Ihya ‘Ulumuddin, juga telah membahas secara detail peranan aktivitas
perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan
penawaran dan permintaan. Menurutnya, pasar merupakan bagian dari keteraturan
alami.
Walaupun
al-Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern,
beberapa paragraf dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan
permintaan. Untuk kurva penawaran “yang naik dari kiri bawah ke kanan
atas”, dinyatakan dalam kalimat, “Jika petani tidak mendapatkan pembeli
barangnya, maka ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah [18]. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut.
Pada
tingkat harga P1 jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual adalah sebesar Qs1,
sementara jumlah barang yang diminta hanya sebesar Q1. Dengan demikian, petani
tidak mendapatkan cukup pembeli. Untuk mendapatkan tambahan pembeli ia
menurunkan harga jual produknya, dari P1 menjadi P2, sehingga jumlah pembelinya
naik dari Q1 menjadi Q2.
Sementara
untuk kurva permintaan, “yang turun dari atas ke kanan bawah, dijelaskan dengan
kalimat, harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan [19]
Awalnya
harga yanag diminta petani adalah sebesar P1. Pada harga ini jumlah permintaan
dan penawaran terhadap harga produk petani tersebut adalah sebesar Q1. Dengan
menurunnnya jumlah permintaan dari Q1 menjadi hanya sebesar Q2 (yakni dengan
bergesernya kurva permintaan D1 ke kiri bawah menjadi kurva D2, maka tingkat
harga akan turun pula dari P1 menjadi P2. Dengan demikian, harga dapar
diturunkan dengan mengurangi permintaan.
Pemikiran
al-Ghazali tentang hukum supply and demand, untuk konteks zamannya cukup
maju dan mengejutkan dan tampaknya dia paham betul tentang konsep elastisitas
permintaan. Ia menegaskan, “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada
harga yang lebih murah, akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada
gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Bahkan ia telah pula
mengidentifikasikan produk makanan sebagai komoditas dengan kurva permintaan
yang inelastis. Komentarnya, “karena makanan adalah kebutuhan pokok, maka
perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong agar tidak semata dalam
mencari keuntungan. Dalam bisnis makanan pokok harus dihindari eksploitasi melalui
pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar. Keuntungan semacam ini
seharusnya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok.[20]
Imam
al-Ghazali, sebagaimana ilmuwan muslim lainnya dalam membicarakan harga selalu
mengkaitkannya dengaan keuntungan. Dia belum mengkaitkan harga barang dengan
pendapatan dan biaya-biaya.
Bagi
al-Ghazali, keuntungan (ribh), merupakan kompensasi dari kesulitan
perjalanan, resiko bisnis dan ancaman keselamatan si pedagang[21]. Meskipun al-Ghazali menyebut keuntungan dalam
tulisannya, tetapi kita bisa paham, bahwa yang dimaksudkannya adalah harga.
Artinya, harga bisa dipengaruhi oleh keamanan perjalanan, resiko, dsb.
Perjalanan yang aman akan mendorong masuknya barang impor dan menimbulkan
peningkatan penawaran, akibatnya harga menjadi turun. Demikian pula sebaliknya.
Dalam
kajian ini perlu ditambahkan sedikit pemikiran al-Ghazali mengenai konsep
keuntungan dalam Islam. Menurutnya, motif berdagang adalah mencari keuntungan.
Tetapi ia tidak setuju dengan keuntungan yang besar sebagai motif berdagang,
sebagaimana yang diajarkan kapitalisme. Al-Ghazali dengan tegas menyebutkan
bahwa keuntungan bisnis yang ingin dicapai seorang pedagang adalah
keuntungan dunia akhirat, bukan keuntungan dunia saja.
Yang
dimaksud dengan keuntungan akhirat agaknya adalah, Pertama, harga yang
dipatok si penjual tidak boleh berlipat ganda dari modal, sehingga memberatkan
konsumen, Kedua, berdagang adalah bagian dari realisasi ta’awun (tolong
menolong) yang dianjurkan Islam. Pedagang mendapat untung sedangkan konsumen
mendapatkan kebutuhan yang dihajatkannya. Ketiga, berdagang dengan
mematuhi etika ekonomi Islami, merupakan aplikasi syari`ah, maka ia dinilai
sebagai ibadah.
Ibnu
Khaldun
Selain,
Abu Yusuf, Ibnu Taymiyah dan al-Ghazali, intelektual muslim yang juga membahas
teori harga adalah Ibnu Khaldun. Di dalam Al-Muqaddimah, ia menulis
secara khusus bab yang berjudul, “Harga-harga di Kota”. Ia membagi jenis barang
kepada dua macam, pertama, barang kebutuhan pokok, kedua barang
mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah, maka
pengadaan barang-barang kebutuhan pokok mendapat prioritas, sehingga penawaran
meningkat dan akibatnya harga menjadi turun. Sedangkan untuk barang-barang
mewah, permintaannya akan meningkat, sejalan dengan perkembangan kota dan
berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah menjadi naik.[22]
Keterangan
Gambar : Supply bahan pokok penduduk kota besar (QS2), jauh lebih
besar daripada supply bahan pokok penduduk kota kecil Qs1. Menutut
Ibnu Khaldun, penduduk kota besar memiliki supply bahan pokok yang
melebihi kebutuhannya sehingga harga bahan pokok di kota besar realtif lebih murah
(P2). Sementara itu supply bahan pokok di kota kecil, realtif
kecil, karena itu orang-orang khawatir kehabisan makanan sehingga harganya
lebih mahal (P1)
Yang
menjadi catatan disini, adalah bahwa Ibnu Khaldun juga telah membahas teori supply
and demand sebagaimana Al-Ghazali dan Ibnu Taymiyah.
Selanjutnya
Ibnu Khaldun mengemukakan mekanisme penawaran dan permintan dalam menentukan
harga keseimbangan. Pada sisi permintaan demand, ia memaparkan pengaruh
persaingan diantara konsumen untuk mendapatkan barang. Sedngkan pada sisi
penawaran (supply) ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnyaa biaya
produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain dikota tersebut.
Selanjutnya
ia menjelaskan pengaruh naik turunnya penawaran terhadap harga. Menurutnya,
ketika barang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun,
bila jarak antara kota dekat dan amam, maka akan banyak barang yang diimpor
sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan harga-harga akan turun Paparan
itu menunjukkan bahwa Ibnu Khaldun sebagaimana Ibnu Taymiyah telah
mengidentifikasi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu keseimbangan
harga.
Masih
berkaitan dengan teori supply and demand, Ibnu Khaldun menjelaskan secara
lebih detail. Menurutnya keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya
perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah, akan membuat lesu
perdagangan, karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya bila pedagang
mengambil keuntungan sangat tinggi, juga akan membuat lesu perdagangan, karena
lemahnya permintaan (demand) konsumen.
Apabila
dibandingkan dengan Ibnu Taymiyah yang tidak menggunakan istilah persaingan,
Ibnu Khaldun menjelaskan secara eksplisit elemen-elemen persaingan. Bahkan ia
juga menjelaskan secara eksplisit jenis-jenis biaya yang membentuk kurva
penawaran, sedangkan Ibnu Taymiyah menjelaskannya secara implisit saja.
Selanjutnya
Ibnu Khaldun mengamati fenomena tinggi rendahnya harga diberbagai negara, tanpa
mengajukan konsep apapun tentang kebijakan kontrol harga. Inilah perbedaan Ibnu
Khaldun dengan Ibnu Taymiyah. Ibnu Khaldun lebih fokus pada penjelasan fenomena
aktual yang terjadi, sedangkan Ibnu Taymiyah lebih fokus pada solusi kebijakan
untuk menyikapi fenomena yang terjadi.
Oleh
karena itu, terlihat bahwa Ibnu Taymiyah tidak menjelaskan secara rincih
pengaruh turun-naiknya permintaan dan penawaran terhadap harga keseimbangan. Ia
hanya menjelaskan bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi harga
dengan menentukan harga selama mekanisme pasar berjalan normal. Bila mekanisme
pasar berjalan normal, pemerintah dianjurkan melakukan kontrol harga
Berdasarkan
kajian para ulama klasik tentang mekanisme pasar, maka Muhammad Najatullah
Shiddiqi, dalam buku The Economic Entreprise in Islam, menulis,
“Sistem
pasar di bawah pengaruh semangat Islam berdasarkan dua asumsi,….Asumsi itu
adalah rasionalitas ekonomi dan persaingan sempurna. Berdasarkan asumsi ini,
sistem pasar di bawah pengaruh semangat Islam dapat dianggap sempurna. Sistem
ini menggambarkan keselarasan antar kepentingan para konsumen.”[23]
Yang
dimaksud dengan rasionalitas ekonomi, adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh
produsen (penjual) dan konsumen (pembeli) dalam rangka memaksimumkan
kepuasannya masing-masing. Pencapaian terhadap kepuasan sebagaimana tersebut
tentunya haruslah diproses dan ditindak lanjuti secara berkesinambungan, dan
masing-masing pihak hendaknya mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana
keputusan yang harus diambil dalam pemenuhan kepuasan ekonomi tersebut.[24]
Sedangkan
persaingan sempurna ialah munculnya sebanyak mungkin konsumen dan produser di
pasar, barang yang ada bersifat heterogen (sangat variatif) dan faktor produksi
bergerak secara bebas. Adalah satu hal yang sulit bagi kedua asumsi tersebut
untuk direalisasikan dalam kenyataan di pasar.[25] Namun demikian, Islam memiliki norma
tertentu dalam hal mekanisme pasar.
Menurut
pandangan Islam yang diperlukan adalah suatu regulasi secara benar serta
dibentuknya suatu sistem kerja yang bersifat produktif dan adil demi
terwujudnya pasar yang normal. Sifat produktif itu hendaklah dilandasi oleh
sikap dan niat yang baik guna terbentuknya pasar yang adil. Dengan demikian,
model dan pola yang dikehendaki adalah sistem operasional pasar yang normal.
Dalam hal ini Muhammad Nejatullah ash Shiddiqi menyimpulkan bahwa ciri-ciri
penting pendekatan Islam dalam hal mekanisme pasar adalah:
- Penyelesaian masalah ekonomi yang asasi (konsumsi, produksi, dan distribusi), dikenal sebagai tujuan mekanisme pasar.
- Dengan berpedoman pada ajaran Islam, para konsumen diharapkan bertingkah laku sesuai dengan mekanisme pasar, sehingga dapat mencapai tujuan yang dinyatakan di atas.
- Jika perlu, campur tangan negara sangat urgen diberlakukan untuk normalisasi dan memperbaiki mekanisme pasar yang rusak. Sebab negara adalah penjamin terwujudnya mekanisme pasar yang normal[26].
Intervensi
Pemerintah
Menurut
Islam negara memiliki hak untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun
untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak
mampu dilaksanakan oleh individu-individu. Keterlibatan negara dalam kegiatan
ekonomi pada permulaan Islam sangat kurang, karena masih sederhananya kegiatan
ekonomi yang ketika itu, selain itu disebabkan pula oleh daya kontrol spiritual
dan kemantapan jiwa kaum muslimin pada masa-masa permulaan yang membuat mereka
mematuhi secara langsung perintah-perintah syariat dan sangat berhati-hati
menjaga keselamatan mereka dari penipuan dan kesalahan. Semua ini mengurangi
kesempatan negara untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi.[27]
Seiring
dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung menampakkan komleksitas dan
penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka
Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas
ekonomi dalam rangka melindungi hak-hka rakyat/masyarakat luas dari
ancaman kezaliman para pelaku bisnis yang ada, dan untuk kepentingn manfaat
yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi negara dalam kegiatan
ekonomi bertujuan:
Menghilangkan
kemiskinan. Menurut Ibnu Taimiyah, menghapuskan kemiskinan merupakan kewajiban
negara. Beliau tidak memuji adanya kemiskinan. Dalam pandangannnya, seseorang
harsu hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka
bisa memenuhi sejumlah kewajibannya dan keharusan agamanya. Menjadi kewajiban
sebuah negara untuk membantu penduduk agar mampu mencapai kondisi finansial
yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan daftar pengeluaran publik dari sebuah
negara, ia menulis:
“Merupakan
sebuah konsensus umum bahwa siapa pun yang tak mampu memperoleh penghasilan
yang tidak mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang, agar mampu memenuhi
kebutuhannnya sendiri, tak ada perbedaan apakah mereka itu para peminta-minta
atau tentara, pedagang, buruh ataupun petani. Pengeluaran untuk kepentingan
orang miskin (sedekah) tak hanya berlaku secara khusus bagi orang tertentu.
Misalnya seorang tukang yang memiliki kesempatan kerja, tetapi hasilnya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhannnya. Atau anggota tentara yang hasil tanah
garapannya (iqta’) tak mencukupi kebutuhannya. Semuanya berhak atas
bantuan sedekah”. [28]
Regulasi harga dan pasar
Sebagaimana
yang telah dibahas di awal, bahwa masalah pengawasan atas harga muncul pada
masa Rasulullah SAW sendiri sebagaimana yang telah diceritakan dalam hadits
bahwa Rasulullah menolak menetapkan harga. Beliau menolak dan berkata: “Allah
mengakui adanya kelebihan dan kekurangan. Dialah yang membuat harga berubah dan
membuat harga yang sebenarnya (musa’ir). Saya berdoa agar Allah tak membiarkan
ketidakadilan menimpa atas seseorang dalam darah atau hak miliknya”.
Ibnu
Qudamah al-Maqdisi, salah seorang pemikir terkenal dari mazhab Hambali
mengatakan: “Imam (pemimpin pemerintahan) tidak memiliki wewenang untuk
mengatur harga bagi penduduk. Penduduk boleh menjual barang-barang mereka
dengan harga berapa pun yang mereka sukai”. Ibnu Qudamah mengutip hadits
tersebut di atas dan memberikan dua alasan tidak diperkenalkan
mengatur/menetapkan harga. Pertama: Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan
harga, meskipun penduduk menginginkannya. Bila itu dibolehkan, pastilah
Rasulullah akan melaksanakannya. Kedua: menetapkan harga adalah suatu
ketidakadilan (kezaliman) yang dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang,
yang di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapa pun,
asal ia bersepakat dengan pemiliknya.[29]
Ibnu
Qudamah selanjutnya mengatakan bahwa ini sangat nyata apabila adanya penetapan,
dan regulasi serta pengawasan harta dari pihak pemerintahan akan mendorong
terjadinya kenaikan harga-harga barang semakin melambung (mahal). Sebab jika
para pedagang dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak
akan mau membawa barang dengannya ke suatu wilayah dimana ia dipaksa menjual
barang dagangannya diluar harga yang diinginkan. Dan para pedagang lokal, yang
memiliki barang dagangan akan menyembunyikan barang dagangannya. Para konsumen
yang membutuhkan akan meminta barang-barang dagangan dengan tidak dipuaskan
keinginannya, karena harganya melonjak mahal/tinggi. Harga akan meningkat dan
kedua belah pihak menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi
menjual barang dagangan mereka, dan para pembeli menderita karena keinginan mereka
tak bisa dipenuhi dan dipuaskan. Inilah alasan mengapa Ibnu Qudamah melarang
regulasi harga oleh pemerintah. [30]
Negara
memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga dan menetapkan besarnya upah pekerja,
demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak menyukai pengawasan harga
dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya penduduk bebas menjual
barang-barang mereka pada tingkat harga yang mereka sukai. Melakukan penekanan
atas masalah ini akan melahirkan ketidakadilan dan menimbulkan dampak negatif,
di antaranya para pedagang akan menahan diri dari penjual barang pun atau
menarik diri dari pasar yang ditekan untuk menjual dengan harga terendah,
selanjutnya kualitas produk akan merosot yang akan berakibat munculnya pasar
gelap.
Penetapan
harga yang tidak adil akan mengakibatkan timbulnya kondisi yang bertentangan
dengan yang diharapkan, membuat situasi pasar memburuk yang akan merugikan konsumen.
Tetapi harga pasar yang terlalu tinggi karena unsur kezaliman, akan berakibat
ketidaksempurnaan dalam mekanisme pasar. Usaha memproteksi konsumen tak mungkin
dilakukan tanpa melalui penetapan harga, dan negaralah yang berkompeten untuk
melakukannya. Namun, penetapan harga tak boleh dilakukan sewenang-wenang, harus
ditetapkan melalui musyawarah. Harga ditetapkan dengan pertimbangan akan lebih
bisa diterima oleh semua pihak dan akibat buruk dari penetapan harga itu harus
dihindari.[31]
.
Kontrol
atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk memelihara keadilan dan
stabilitas pasar. Tetapi kebijakan moneter bisa pula mengancam tujuan itu,
negara bertanggungjawab untuk mengontrol ekspansi mata uang dan untuk mengawasi
penurunan nilai uang, yang kedua masalah pokok ini bisa mengakibatkan
ketidakstabilan ekonomi. Negara harus sejauh mungkin menghindari anggaran
keuangan yang defisit dan ekspansi mata uang yang tidak terbatas, sebab akan
mengakibatkan terjadinya inflasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas
mata uang yang bersangkutan. Mata uang koin yang terbuat dari selain emas dan
perak, juga bisa menjadi penentu harga pasar atau alat nilai tukar barang.
Karena itu otoritas ekonomi (negara) harus mengeluarkan mata uang berdasarkan
nilai yang adil dan tak pernah mengeluarkan mata uang untuk tujuan bisnis. Ibnu
taimiyah sangat jelas memegang pandangan pentingnya kebijakan moneter bagi
stabilitas ekonomi. Uang harus dinilai sebagai pengukur harga dan alat
pertukaran. Setiap upaya yang merusak fungsi-fungsi uang akan berakibat buruk
bagi ekonomi. [32]
Peranan
Lembaga Hisbah
Lembaga
yang bertugas dalam melakukan kontrol harga disebut dengan hisbah.
Rasulullah, sebagaimana dijelaskan diawal, memandang penting arti dan peran
lembaga hisbah (pengawasan pasar). Para muhtasib (orang-orang
yang duduk di lembaga hisbah), pada masa Rasul sering melakukan inspeksi ke
pasar-pasar. Tujuan utamanya untuk mengontrol situasi harga yang sedang
berkembang, apakah normal atau terjadi lonjakan harga, apakah terjadi karena
kelangkaan barang atau faktor lain yang tidak wajar. Dari inspeksi ini tim
pengawas mendapatkan data obyektif yang bisa ditindak lanjuti sebagai respons.
Jika terjadi kelonjakan harga akibat keterbatasan pasok barang, maka tim
pengawasan memberikan masukan kepada rasulullah dengan target utama untuk
segera memenuhi tingkat penawaran, agar segera tercipta harga seimbang. Namun,
tim inspeksi juga tidak akan menutupi bahwa jika faktor kelonjakan harga karena
faktor lain (mungkin penimbunan, ihtikar maka rasulullah langsung mengingatkan
agar tidak melakukan praktek perdagangan yang merugikan kepentingan masyarakat
konsumen. Terjunnya Rasulullah Saw, segera direspons positif dalam bentuk
penurunan harga. Sementara pedagang Yahudi dan paganis ada tidak berdaya
menolak imbauan Rasul. Dari realitas itu terlihat bahwa lembaga hisbah sejak
masa nabi cukup efektif dalam membangun dinamika harga yang di satu sisi
memperhatikan kepentingan masyarakat konsumen dan di sisi lain tetap menumbuhkan
semangat perniagaan para pelaku ekonomi di pasar-pasar itu.
Setelah
Rasulullah Saw wafat, peranan lembaga hisbah diteruskan oleh Khulafaur
Rasyidin. Bahkan ketika khalifah Umar, lembaga hisbah lebih agersif lagi. Hal
ini didasarkan oleh perkembangan populasi yang memaksa pusat-pusat perbelanjaan
juga meningkat jumlahnya. Apabila kondisi ini tidak diantisipasi dengan sistem
kontrol yang ketat dan bijak, akan menjadi potensi ketidak seimbangan
harga yang tentu merugikan masyarakat konsumen.
Menyadari
potensi resiko ini, para khalifah yang empat memandang penting peran lembaga
hisbah. Sejarah mencatat bahwa pada masa khalifah yang empat, masalah harga
dapat dikontrol dan pada barang tertentu dapat dipatok dengan angka
minimum-maksimum yang wajar. Maknanya, di satu sisi, kepentingan konsumen tetap
dilindungi, dan di sisi lain, kepentingan kaum pedagang tetap diberi kesempatan
mencari untung, tetapi dirancang untuk menjauhi sikap eksploitaasi dan
kecurangan.
Yang
perlu dicatat, adalah keberhasilan lembaga hisbah dalam kontrol harga
dan pematokan harga wajar (normal). Keberhasilan ini disebabkan efektifitas
kerja tim lembaga hisbah yang commited terhadap missi dan tugas
pengawasan di lapangan. Komitmen ini menjauhkan seluruh anggota tim untuk
melakukan kolusi dan menerima risywah (suap).
Lebih
lanjut di dalam salah satu bagian dari bukunya “Fatawa”, Ibn Taimiyah mencatat
beberapa hal menyangkut persoalan harga di dalam pasar, hubungannya dengan
faktor yang mempengaruhi demand dan supply sebagai berikut :
- Keinginan konsumen (raghbah) terhadap jenis barang yang beraneka ragam atau sesekali berubah. Keinginan tersebut karena limbah ruahnya jenis barang yang ada atau perubahan yang terjadi karena kelangkaan barang yang diminta (mathlub). Sebuah barang sangat diinginkan jika ketersediaannya berlimpah, dan tentu akan berpengaruh terhadap naiknya harga.
- Perubahan harga juga tergantung pada jumlah para konsumen. Jika jumlah para konsumen dalam satu jenis barang dagangan itu banyak maka harga akan naik, dan terjadi sebaliknya harga akan turun jika jumlah permintaan kecil.
- Harga akan dipengaruhi juga oleh menguatnya atau melemahnya tingkat kebutuhan atas barang karena meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan, bagaimanapun besar ataupun kecilnya. Jika kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik lebih tinggi ketimbang jika peningkatan kebutuhan itu kecil atau lemah.
- Harga juga berubah-ubah sesuai dengan siapa pertukaran itu dilakukan (kualitas pelangan). Jika ia kaya dan dijamin membayar hutang, harga yang rendah bisa diterima olehnya, dibanding dengan orang lain yang diketahui sedang bangkrut, suka mengulur-ulur pembayaran atau diragukan kemampuan membayarnya.
- Harga itu dipengaruhi juga oleh bentuk alat pembayaran (uang) yang digunakan dalam jual beli. Jika yang deigunakan umum dipakai, harga akan lebih rendah ketimbang jika membayar dengan uang yang jarang ada di peredaran.
- Suatu obyek penjualan (barang), dalam satu waktu tersedia secara fisik dan pada waktu lain terkadang tidaj tersedia. Jika obyek penjualan tersedia, harga akan lebih murah ketimbang jika tidak tersedia. Kondisi yang sama juga berlaku bagi pembeli yang sesekali mampu membayar kontan karena mempunyai uang, tetapi sesekali ia tak memiliki dan ingin menangguhnkannya agar bisa membayar. Maka harga yang diberikan pada pembayaran kontan tentunya akan lebih murah dibanding sebaliknya. [33]